Perkara-perkara baru (iatu Bidaah) itu terbagi menjadi dua macam :
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah).
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469).
Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama 'Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).
Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)
'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:
Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:
Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".
Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu 'anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush'. 'Am Makhshush' artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualiaan. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir 'Alaihissalam menjelaskan kepada Nabi Musa 'Alaihissalam alasan mengapa beliau merusak kapal. Allah Ta'ala mewahyukan:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)
Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu 'anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush'. 'Am Makhshush' artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualiaan. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir 'Alaihissalam menjelaskan kepada Nabi Musa 'Alaihissalam alasan mengapa beliau merusak kapal. Allah Ta'ala mewahyukan:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)
Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.
Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)
"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:
Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.
Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(
Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus
Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)
"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:
Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.
Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(
Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus
Tiada ulasan:
Catat Ulasan